Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di
Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten
Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau
lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin
Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar .
Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu
sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin
Surosentiko masih mempunyai pertalian darah
dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan
juga masih bertalian darah dengan Pengeran
Kusumoningayu yang berkuasa di daerah
Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil
di Kabupaten Tulungagung) pada tahun
1802-1826.Pada tahun 1890 Samin Surosentiko
mulai mengmbangkan ajarannya di daerah
Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa
sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga
dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat
yang menjadi pengikutnya.
Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum
tertarik dengan ajarannya, karena dianggap
sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru
yang tidak membahayakan keberadaan
pemerintah kolonial.Pada tahun 1903 Residen
Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722
orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa
di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro.
Mereka giat mengembangkan ajaran Samin.
Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin
berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial
Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak
pengikut Samin yang ditangkap dan
dipenjarakan. Dan pada tanggal 8 Nopember
1907, Samin Surosentiko diangkat oleh
pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar
Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian
selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin
Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu
asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap
Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang
ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa
pada tahun 1914.
Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko
tidak memadamkan pergerakan Samin.
Wongsorejo, salah satu pengikut Samin
menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun.
Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak
membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial.
Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa
pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin
Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya
menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan,
sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin
ke Kajen, Pati.
Tahun 1912, pengikut Samin mencoba
menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo,
Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.
Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin.
Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial
belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah
Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi
menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian
juga di Distrik Balerejo, Madiun.
Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran
Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat
untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan,
Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat
desa dan Polisi
Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi
perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial
Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar
pajak.
Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap
pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan
karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh
Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan
di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer
Kawitan, disebut-sebut juga kaitan Samin
Surosentiko dengan Adipati Sumoroto
Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer
Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin
Surosentiko yang waktu kecilnya bernama Raden
Kohar , adalah seorang Pangeran atau
Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat
pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan
rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial
Belanda dengan cara lain.
Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin
Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara
Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa
buku peninggalan Samin Surosentiko yang
diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa
samin lainnya.
Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan
Samin Surosentiko disebut SERAT
JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini
ada beberapa buku. Di antaranya adalah buku
Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang
pemeliharaan tingkah laku manusia yang
berbudi.
Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah
perihal “ manunggaling kawulo Gusti atau
sangkan paraning dumadi “. Menurut Samin
Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti
itu dapat diibaratkan sebagai “ rangka umanjing
curiga “( tempat keris yang meresap masuk ke
dalam kerisnya ). Dalam buku Serat Uri-uri
Pambudi diterangkan sebagai berikut :
“Tempat keris yang meresap masuk dalam
kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal
ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara
mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati.
Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan
(Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat
campuran yang menunjukkan bahwa seperti
itulah yang disebut campuran mahkluk dan
Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup
hanyalah terhalang oleh adanya badan atau
tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging
dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya
adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok)
kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang
menghidupi segala hal yang ada di semesta
alam.”
Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan
lagi sebagai berikut :
“ Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa
utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah,
yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah
besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu
badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan
realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud
adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah
Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya
terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip mandiri
itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu
antara mahkluk dan Khaliknya.”
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang
bertindak mencari sandang pangan kita sehari-
hari adalah “ Saderek gangsal kalima pancer”
adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai
mandor. Seorag mandor harus mengawasi kuli-
kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai
berikut:
“ Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud
gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu
mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu
dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima
pokoknya). Adapun yang bekerja mencari
sandang pangan setiap hari itu adalah saudara
kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita
bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya
mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan
yang berada ditangannya untuk mengatur anak
buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya
apabila anak buahnya tadi betindak salah dan
tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama
kelamaan mereka kian berbuat seenaknya. Hal
ini akan mengakibatkan penderitaan.
Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur
papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut
diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat
hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di
hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya.
Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli.
Mandhor berfungsi sebagai pengawas,
sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja.
Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh
Samin Surosentiko dikandung maksud agar
ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya
yang umumnya adalah orang desa yang terkena
kerja paksa.
Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di
dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa
yang dialami oleh manusia di dunia adalah
kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan
gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih,
harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal
tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang
berbunyi :
“ ..Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh
Tuhan di dunia untuk menambah kendahan jagad
raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus
menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar
melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila
manusia mengalami kebahagiaan dan
kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit,
semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab
manusia terikat dengan perjanjiannya. Yang
terpenting adalah manusia hidup di dunia ini
harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami
pada asal-usulnya masing-masing….”
Samin Surosentiko juga mengajarkan
pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran
dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang
mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran
selengkapnya sebagai berikut:
“ …Arah tujuannya agar dapat berbuat baik
dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga
tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah
oleh sembarang godaan, serta harus
menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga
bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-
tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima
segala cobaan yang datang padanya, walaupun
terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan,
tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang,
semuanya harus diterima tanpa gerutuan,
apalagi sampai membalas berbuat jahat,
melainkan orang harus selalu ingat pada
Tuhan…,”
Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa
Tapelan dikenal sebagai “ angger-angger
pratikel” (hukum tindak tanduk), “ angger-
angger pengucap “ (hukum berbicara), serta “
angger-angger lakonana” (hukum perihal apa
saja yang perlu dijalankan).
Hukum yang pertama berbunyi “Aja dengki srei,
tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput,
mbedog colong.” Maksudnya, warga samin
dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati
pada orang lain, dan dilarang mengambil milik
orang.
Hukum ke dua berbunyi “ Pangucap saka lima
bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga
budhelane ana pitu.” Maksud hukum ini , orang
berbicara harus meletakkan pembicaraannya
diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-
angka tersebut hanyalah simbolik belaka.
Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari
segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-
kata yang menyakitkan orang lain. Kata-kata
yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan
orang lain dapat mengakibatkan hidup manusia
ini tidak sempurna.
Adapun hukum yang ke tiga berbunyi “ Lakonana
sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale
dilakoni.” Maksudnya, warga Samin senantiasa
diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “
bagaikan orang mati dalam hidup “
Menurut Samin Surosentiko, semua ajaran diatas
dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang
menerima mau melatih diri dalam hal samadi.
Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi
yang berbunyi sebagai berikut : “…Adapun
batinnya agar dapat mengetahui benar-benar
akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan
cara samadi, berlatih “mati” senyampang masih
hidup (mencicipi mati) sehingga dapat
menanggulangi segala godaan yang
menghalang-halangi perjalanannya bersatu
dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat
terwujud, dan terhindar dari bencana.”
Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah
manusia meninggal diharapkan roh manusia
yang meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik
sebagai binatang( bagi manusia yang banyak
dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia yang
tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan
Tuhannya. Hal ini diterangkan Samin Surosentiko
dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti
orang apabila yang bersangkutan tak banyak
membaca buku-buku kebatinan. Demikian kata
Samin Surosentiko :
“ …Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari
betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan
dari betal mukaram ke betal mukadas juga
sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga
jengkal. Kelak apabila manusia meninggal dunia
supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka.
Hal ini seperti ajaran Pendeta Jamadagni. Tekad
pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan
dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan
oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis
pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia).
Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia
dia berusaha tidak salah jalan, yaitu kembali ke
rahim wanita lagi. (jangan sampai menitis
kembali pada bayi, lahir kembali ke dunia).”
Dari keterangan diatas dapatlah diketahiu bahwa
Samin Surosentiko tidak menganut faham
‘Penitisan’ tapi menganut faham ‘ manunggaling
kawulo Gusti’ atau ‘sangkan paraning dumadi’.
Dari ajaran-ajaran tertulis di atas jelas kiranya
bahwa Samin Surosentiko adalah seorang
“theis”. Keparcayaan pada Tuhan, yang
disebutnya dengan istilah-istilah Gusti, Pangeran,
Allah, Gusti Allah, sangatlah kuat, hal ini bisa
dilihat pada ajarannya :
“ Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat.
Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan
barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan
itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu
juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada….”
Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko
yang berasal dari Serat Uri-uri Pambudi.
Selanjutnya akan dijelaskan ajaran Samin
Surosentiko yang terdapat dalam buku Serat
Pikukuh Kasajaten. Buku ini maknanya
pengukuhan kehidupan yang sejati.
Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten
ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu
genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa.
Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang
Pangkur yang mengandung ajaran perihal
Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang
dimaksud seperti dibawah ini :
“ Saha malih dadya garan,
anggegulang gelunganing pembudi,
palakrama nguwoh mangun,
memangun traping widya,
kasampar kasandhung dugi prayogantuk,
ambudya atmaja tama,
mugi-mugu dadi kanthi .”
Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting.
Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat
untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya
untuk menciptakan “Atmaja Tama” (anak yang
mulia). Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan
seorang temanten laki-laki diharuskan
mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang
lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan
saya memang kawin. (Kali ini) mengawini
seorang perempuan bernama…… Saya berjanji
setia kepadanya. Hidup bersama telah kami
jalani berdua.”
Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang
diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya
yang sampai sekarang masih dipatuhi warga
samin.
Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko
mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan
Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud
dalam sikap :
1.Penolakan membayar pajak
2.penolakan memperbaiki jalan
3.penolakan jaga malam (ronda)
4.penolakan kerja paksa/rodi
Samin Surosentiko juga memberikan ajaran
mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat
Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan
terkenal dan disegani orang serta dapat
digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya
apabila para warganya selalu memperhatikan
ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.
Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan
tanah lapang Desa Bapangan Blora, pada malam
Kamis legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan
bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan
Pandawa. Keturunan Pandawa adalah keluarga
Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat
Punjer Kawitan. Atas dasar Serat Punjer Kawitan
itulah, Samin Surosentiko mengajak pengikut-
pengikutnya untuk melawan Pemerintah Belanda.
Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa
adalah tanah milik “ wong Jawa “. Oleh karena
itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan.
Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab
pohon jati dianggap warisan dari leluhur
Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan
Pemerintahan Belanda, sehingga Pemerintah
Belanda melakukan penangkapan terhadap
pemimpin-pemimpin ajaran Samin.
Geger Samin atau Pergerakan Samin yang
dipimpin oleh Samin Surosentiko sebenarnya
bukan saja desebabkanoleh faktor ekonomis
saja, akantetapi juga disebabkan oleh faktor-
faktor lain. Yang jelas pemberontakan melawan
Pemerintahan Kolonial Belanda didasarkan pada
kebudayaan Jawa yang religius.. Dengan
demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah
ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran yang
penuh kreatifitas dan keberanian.
Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859
sampai tahun 1914 ternyata telah memberi
warna sejarah perjuangan bangsa, walaupun
orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan
warga Samin mencemoohkannya, tapi sejarah
telah mencatatnya, dia telah mampu
menghimpun kekuatan yang luar biasa besarnya.
Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah
Blora saja, tetapi tersebar di beberapa daerah
lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan,
Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati,
Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.
Kamis, 23 Oktober 2014
SAMIN SUROSENTIKO
Jumat, 17 Oktober 2014
PERSEBARAN MASYARAKAT SAMIN
PERSEBARAN MASYARAKAT SAMIN
Pada tahun 1917 Asisten Residen Tuban J.E. Jasper melaporkan bahwa persebaran masyarakat Samin itu dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi. Jasper dalam laporannya memberikan catatan kasar bahwa, keluarga Samin yang berada dan tinggal di luar wilayah Kabupaten Blora ada 283 keluarga, yakni meliputi wilayah Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Ngawi, Grobogan (Benda dan Catles, 1969:214). Selanjutnya, Benda dan Catles (1969), mencatat, di Desa Kutuk, Kudus Selatan, kini orang Samin berjumlah kira-kira dua ribu orang dan hidup di bidang pertanian. Data pada Encyclopedia van Nederlandsch Indie, 1919, orang Samin berjumlah 2.300 kepala keluarga, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, dan Kudus,yang terbesar di Tapelan, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro.
Soepanto-Djaffar (1962:41-42), menyatakan orang Samin boleh dikatakan tempat tinggalnya terpencar dalam beberapa buah desa dan bercampur gaul dengan orang-orang desa itu yang bukan dari golongannya. Di antara desa-desa yang ditempati oleh orang Samin itu yang terbanyak ialah di Desa Bapangan, Kecamatan Mendenrejo, Kabupaten Blora, dan yang paling sedikit ialah di Jepon. Di Bapangan + 1700 jiswa, di Ngawen + 650 jiwa, di Ngaringan ± 375 jiwa, di Jepon + 300 jiwa.
Persebaran masyarakat Samin terjadi di wilayah Kabupaten Blora, dan sampai ke luar wilayah Kabupaten Blora. Persebarannya di wilayah Kabupaten Blora diawali dari desa tempat kelahiran Samin Surosentiko, yakni Desa Ploso Kedhiren, Kecamatan Randublatung. Di Desa Ploso karena pengikutnya makin bertambah, Samin Surosentiko mencari tempat yang lebih luas, yakni di Desa Bapangan, wilayah Kecamatan Menden. Dari Bapangan inilah penyebaran masyarakat Samin diawali. Persebaran masyarakat Samin di wilayah Kabupaten Blora diawali dari Randublatung ke Menden. Selanjutnya ke daerah-daerah Kedungtuban, Sambongjiken, Jepon, Blora, Tunjungan, Ngawen, Todanan, Kunduran, Banjarejo, dan Doplang. Selama satu dasa warsa, keluarga Samin menyebar sampai ke luar wilayah Kabupaten Blora, antara lain: Kudus, Pati, Rembang, Bojonegoro, Ngawi Soerjanto Sastroatmodjo (2003:20), mencatat persebaran paham Samin sampai di Dusun Tapelan (Bojonegoro), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunungsegara (Brebes), dan sebagian lagi di Kandangan (Pati), dan Tlaga Anyar (Lamongan).
Ada dua alasan kuat penyebaran masyarakat Samin baik yang terjadi di wilayah Kabupaten Blora maupun sampafke luar wilayah Kabupaten Blora. Vertama, berkenaan dengan pengembangan ajaran Samin Surosentiko yang dilakukan oleh Samin Surosentiko sendiri maupun oleh para pengikutnya, seperti Wongsorejo (di wilayah Jiwan, Madiun), Engkrek ada juga yang menyebut Engkrak (di wilayah Grobogan, Purwodadi), Karsiyah atau Pangeran Sendang Janur (di Kayen, Pati). Kedua, berkenaan dengan gerakan orang- orang Samin yang menentang kebijakan pemerintah kolonial Belanda dengan cara menolak untuk membayar pajak dan menyerahkan sebagian hasil panen ke pihak desa. Cara ini semakin berkembang yang kemudian dirasa mencemaskan dan membahayakan pemerintah kolonial. Oleh sebab itu banyak orang Samin yang ditangkap. Mereka yang lolos, menghindarkan diri dari dari penangkapan pemerintah kolonial. Untuk itu mereka meninggalkan desanya, tinggal sembunyi di pinggiran hutan jati atau sungai. Apalagi setelah Samin Surosentiko ditangkap bersama delapan pengikutnya, sampai meninggal di Sawahlunto, Sumatera tahun 1914.
Persebaran masyarakat Samin seperti terurai di atas, membawa konsekuensi semakin merasa bersatu yang diikat oleh ikatan persaudaraan, dan orang Samin menyebutnya seduluran. Dengan seduluran ini orang Samin mengaku bahwa setiap orang adalah sedulur (saudara), apalagi dengan sesama orang Samin, misalnya orang Samin yang tinggal di Dukuh Tapelan, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro mengaku mempunyai seduluryang tinggal di Dukuh Tambak, Desa Sumber, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora.
Di samping ikatan seduluran, orang Samin di mana tinggal juga terikat oleh persamaan adat-istiadat atau tatacara, aturan- aturan yang wajib mereka laksanakan. Misalnya adat-istiadat atau tatacara perkawinan dan kematian, tidak boleh berdagang karena menurut anggapannya orang berdagang itu akan berbuat goroh (menipu), tidak boleh menerima sumbangan berupa uang sepeser pun apabila sedang mempunyai hajat (adang ake/o), dan tolong menolong harus dilaksanakan karena ini merupakan kewajiban manusia hidup. Untuk mensosialisasikan pranata sosial ini dilakukan sendiri oleh Samin Surosentiko pada waktu men yeleng gar akan pesta anaknya. Dalam pesta perkawinan anaknya, ia sudah benar-benar meninggalkan adat-istiadat yang berlaku di desa
Kamis, 16 Oktober 2014
KECAMATAN DI BLORA
KECAMATAN DI BLORA TERBAGI MENJADI 16 KECAMATAN,yaitu
1. KECAMATAN JATI
2. KECAMATAN RANDUBLATUNG,
3. KECAMATAN KRADENAN
4. KECAMATAN KEDUNGTUBAN
5. KECAMATAN CEPU
6. KECAMATAN SAMBONG
7. KECAMATAN JIKEN
8. KECAMATAN JEPON
9. KECAMATAN BLORA
10. KECAMATAN TUNJANGAN
11. KECAMATAN BANJAREJO
12. KECAMATAN NGAWEN
13. KECAMATAN KUNDURAN
14. KECAMATAN TODANAN
15. KECAMATAN JAPAH
16. KECAMATAN BOGOREJO
PATUNG SATE /TUGU SATE
Pastinta sobat KOMARA yg merantau atau tempat tinggaly disekitar kunduran pasti pernah liat tugu sate atau patung orang jualan sate,
tugu sate adalah sebuah icon kuliner di Kota Blora,
Tugu Sate terletak di Perbatasan Blora-
Grobogan, tepatnya Ds.Gagakan
Kec.Kunduran jawa tengah,indonesia yang blom pernah liat yo coba main2.
Rabu, 15 Oktober 2014
SITUS SEJARAH DIKABUPATEN BLORA
SITUS SEJARAH DIKABUPATEN BLORA
Blora merupakan sebuah kabupaten yang
terdapat di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten
Blora sebagai sebuah kota telah meninggalkan
banyak situs yang berserakan. Hal ini berkaitan
dengan adanya peninggalan dari kerajaan jipang
panolan dan situs wura-wari. Situs-situs sejarah
ini misalnya:
* Perpustakaan Daerah
Perpustakaan daerah biasanya merupakan
sebuah perpustakaan yang lokasinya di tingkat
kabupaten. Sebagai contoh misalnya:
perpustakaan yang ada dikabupaten Blora yang
beralamat di jalan A.Yani kompleks GOR Kolonel
Soenandar. Di perpustakaan ini tersimpan
berbagai macam koleksi sumber sejarah tertulis
yang meliputi berbagai bidang serta buku-buku
mengenai sejarah blora, kebudayaan blora, suku
Samin dan sumber-sumber lain yang kompeten
dalam penulisan sejarah.
* Museum Mahameru
Berawal dari rasa iri, meri terhadap kabupaten
tetangga seperti Rembang, Pati, Grobogan, dan
Bojonegoro (Jawa Timur), Mahameru ini
dibangun,” ungkap Ketua Yayasan Mahameru
Blora Gatot Pranoto BE. Pada awalnya, dengan
merekrut beberapa personel muda yang memiliki
keinginan untuk pelestarian budaya dan sejarah,
obsesi Mahameru masih ambyah-ambyah atau
kurang terfokus. Begitu berdiri, tidak tanggung-
tanggung langsung berbadan hukum. Kali
pertama yang dilakukan sejumlah personel
Mahameru adalah menelusuri literatur dan studi
lapangan dengan obsesi menyusun buku sejarah
Blora. Latar belakangnya, selama ini masih
terlalu banyak versi penyusunan sehingga buku
sejarah Blora ini belum diketahui ending-nya.
Didorong oleh keinginan terus maju, tidak puas
dengan apa yang diraih saat ini, Yayasan
Mahameru secara rutin menerjunkan tim
penelusur dan pemantau benda-benda bersejarah
ke seluruh pelosok di Blora. Fosil binatang
raksasa, pecahan keramik dari negeri manca,
bebatuan, tosanaji telah ditemukan tim ekspedisi
itu. penemuan fosil kerbau purba yang
diperkirakan sudah berusia 1 juta – 2 juta tahun
lalu di Kecamatan Menden, Blora, kini tim
Yayasan Mahameru Blora kembali menemukan
fosil binatang purba jenis pemakan daging yang
diperkirakan juga berusia jutaan tahun. Temuan
fosil baru itu secara lisan telah dilaporkan ke
Dinas Pariwisata Blora dan barangnya saat ini
untuk sementara disimpan di Rumah Sejarah
Blora..
Temuan di Desa Rowobungkul adalah pecahan
keramik yang diperkirakan peninggalan zaman
Dinasti Ming, sebagian peninggalan Dinasti
Tsung dan Dinasti Tsing. Yang menarik,
hamparan pecahan keramik itu berada di area
yang sangat luas, 20 hektare
Benda bersejarah yang menjadi koleksi Museum
Mahameru bertambah 1 buah, yaitu berupa 1
kotak wayang kulit (50 – 70 buah). Benda
tersebut dihibahkan warga Desa Jatisari,
Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora.
Dihibahkannya wayang kulit tersebut dilatar
belakangi cerita mistis, namun menjadi fakta
ditengah kehidupan warga Jatisari. Menurut
Ketua Yayasan Mahameru Blora, Gatot Pranoto,
warga desa menyebut benda yang dihibahkan
tersebut sebagai wayang kulit Malati. Pemberian
nama itu dilatarbelakangi oleh kejadian aneh
yang menimpa setiap warga yang menyimpan
wayang kulit tersebut, ketika disimpan di rumah
salah seorang perangkat desa, tanpa diketahui
penyebabnya tiba – tiba salah seorang anggota
keluarga perangkat itu jatuh sakit. Dan anehnya,
saat wayang kulit itu dipindahkan ke tempat lain,
warga yang sakit itu sembuh. Peristiwa itu
terjadi berulang kali di Desa Jatisari. Setelah
mengalami peristiwa yang sama, warga desa
sepakat membiarkan wayang kulit itu di Balai
Desa.
* Lubang Buaya Dukuh Pohrendeng
Lubang buaya ini merupakan tempat
pembuangan mayat korban PKI 1948 yang
terletak di dukuh Pohrendeng, Desa Maguwan
kecamatan Tunjungan. Korban dari PKI ini yaitu
Mr. Iskandar yang merupakan Presiden Landraad
pada pengadilan Negeri Blora sejak penjajahan
yang diangkat menjadi bupati blora ketika
Indonesia merdeka. Ketika menculik Mr. Iskandar
tertangkap terikut pula dokter Susanto yang
merawat Mr. Iskandar dan seorang camat
margorojo pati yang bernama Oetoro. Selain itu
dua orang lagi dari blora yaitu Gunandar dan
Abu Umar.
* Sunan Pojok
Makam Sunan Pojok terletak di jantung Kota
Blora dekat dengan Alun-Alun Kota Blora,
tepatnya berada disebelah Utara Pasar Kota
Blora, sangat strategis dan mudah dijangkau
baik dengan kendaraan roda dua maupun roda
empat. Menurut data inventaris Kepurbakalaan
dari Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Blora
serta hasil dari pendapat sebagian tokoh
masyarakat mengenai data-data makam para
tokoh Pemerintahan dan Keagamaan pada waktu
dulu, merupakan awal mula pemerintahan di
Kabupaten Blora. Barangkali dari sini dapat
digambarkan asal mula Kabupaten Blora. Makam
Sunan Pojok adalah Makam Pangeran Surobahu
Abdul Rohim. Sebelumnya beliau adalah seorang
perwira di Mataram yang telah berhasil
memadamkan kerusuhan di daerah pesisir utara
atau tepatnya didaerah Tuban, sekembalinya dari
Tuban diperjalanan beliau jatuh sakit dan
meninggal dunia di Desa Pojok Blora.
* Situs Wura-Wari
Lokasi Situs Wura-wari ini dari Jipang, Ngloram
dapat ditempuh dengan berkendaraan sekitar
sepuluh menit. Haji Wura-Wari adalah penguasa
bawahan (vasal) yang pada tahun 1017 Masehi
menyerang Kerajaan Mataram Hindu (semasa
Raja Darmawamsa Tguh). Saat itu Kerajaan
Mataram Hindu berpusat di daerah yang
sekarang dikenal dengan Maospati, Magetan,
Jawa Timur. Serangan dilakukan ketika pesta
pernikahan putri Raja Darmawamsa Teguh
dengan Airlangga, yang juga keponakan raja,
sedang dilangsungkan.
Membalas dendam atas kematian istri, mertua,
dan kerabatnya, Airlangga yang lolos dari
penyerangan dan tinggal di Wanagiri (di daerah
perbatasan Jombang-Lamongan), akhirnya balik
menghancurkan Haji Wura-Wari. Namun,
sebelumnya Haji Wura-Wari terlebih dahulu
menyerang Airlangga sehingga dia terpaksa
mengungsi dan keluar dari keratonnya di Wattan
Mas (sekarang Kecamatan Ngoro, Pasuruan,
Jawa Timur).
Serangan balik Airlangga, yang ketika itu sudah
dinobatkan menggantikan Darmawamsa Tguh,
ditulis dalam Prasasti Pucangan (abad XI) yang
terjadi pada tahun 1032 M. Serangan itu pula
yang memperkuat dugaan batu bata kuno
berserakan di sekitar situs tersebut.
Situs yang ditemukan tim ekspedisi berada di
tengah tegalan, di tepi persawahan, berupa
tumpukan batu bata kuno berlumut yang kini
dijadikan areal pemakaman.. Sejak tahun 2000,
telah dikumpulkan serpihan batu bata kuno
berukuran 20 x 30 sentimeter dengan tebal
sekitar 4 cm, serpihan keramik, serta serpihan
perunggu yang kini disimpan di Museum
Mahameru.
Temuan di situs itu memperkuat isi Prasasti
Pucangan bertarikh Saka 963 (1041/1042
Masehi) yang pernah diuraikan ahli huruf kuno
(epigraf) Boechori dari Universitas Indonesia.
Boechori menyebutkan, …Haji Wura-Wari mijil
sangke Lwaram. Mijil mempunyai arti keluar
(muncul dari).
Hasil analisis toponimi (nama tempat),
kemungkinan nama Lwaram berubah menjadi
Desa Ngloram sekarang. “Pelesapan konsonan
’w’, penyengauan di awal kata, dan perubahan
vokal ’a’ menjadi ’o’ menjadikan nama lama
Lwaram menjadi Ngloram sekarang. Penjelasan
seperti itu pula yang membantah berbagai
pendapat terdahulu yang menyebutkan Haji
Wura-Wari berasal dari daerah Indocina atau
Sumatera sebagai koalisi Sriwijaya. Cepu
memiliki data arkeologis, toponimi, dan geografis
kuat untuk melokasikannya di tepian Bengawan
Solo di Desa Ngloram.
* Petilasan Kadipaten Jipang Panolan
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan berada di
Desa Jipang, sekitar 8 kilometer dari kota Cepu.
Petilasannya berwujud makam Gedong Ageng
yang dahulu merupakan pusat pemerintahan dan
bandar perdagangan Kadipaten Jipang. Di
tempat tersebut juga terlihat Petilasan Siti
Hinggil, Petilasan Semayam Kaputren, Petilasan
Bengawan Sore, dan Petilasan Masjid.
Ada juga makam kerabat kerajaan, antara lain
makam R Bagus Sumantri, R Bagus
Sosrokusumo, RA Sekar Winangkrong, dan
Tumenggung Ronggo Atmojo. Di sebelah utara
Makam Gedong Ageng, terdapat Makam Santri
Songo. Disebut demikian karena di situ ada
sembilan makam santri dari Kerajaan Pajang
yang dibunuh oleh prajurit Jipang karena
dicurigai sebagai telik sandi atau mata-mata
Sultan Hadiwijaya.
* Cepu, Nglobo, Ledok, dan Wonocolo
Jumlah sumur tua yang ada mencapai 648 buah
dengan 112 di antaranya masih aktif
memproduksi minyak. Perlu diketahui, sumur
minyak di Cepu ini kali pertama ditemukan pada
tahun 1890 oleh Bataafsche Petroleum
Maatchappij (BPM), sebuah perusahaan minyak
dari Belanda, yang kemudian namanya berubah
menjadi Shell. Sebagian besar sumur tua
tersebut masih ditambang secara tradisional oleh
masyarakat setempat. Mereka menggunakan tali
dan timba yang ditarik oleh sekitar 15 orang atau
memanfaatkan sapi untuk menderek. Sumur-
sumur tua itu umumnya berada di areal
perbukitan dan di tengah-tengah kawasan hutan
jati. Maka, perlu upaya ekstra untuk bisa
melihatnya
* Makam Purwo Suci Ngraho Kedungtuban
Makam Purwo Suci terletak di Dukuh Kedinding,
Desa Ngraho, Kecamatan Kedungtuban lebih
kurang 43 km kearah tenggara dari Kota Blora,
mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua
maupun roda empat sampai ke jalan desa
kemudian untuk mencapai makam dolanjutkan
dengan berjalan kaki lebih kurang 500 m sambil
menikmati pemandangan alam, karena letaknya
berada di puncak perbukitan dengan luas areal
bangunan makam lebih kurang 49 persegi.
Menurut informasi atau cerita dari masyarakat
setempat Makam Purwo Suci adalah makam
seorang Adipati Penolan sesudah Haryo
Penangsang bernama Pangeran Adipati
Notowijoyo. Di dalam halaman makam tersebut
juga terdapat Makam Nyai Tumenggung Noto
Wijoyo, karena jasa-jasanya, sampai saat ini
makam tersebut masih banyak dikunjungi oleh
masyarakat untuk tujuan tertentu, bahkan pernah
dipugar oleh Bupati Blora pada tahun 1864
dengan memakai sandi sengkolo, Karenya Guna
Saliro Aji ( tahun 1864 ). Menurut ceritera yang
panjang, makam ini cocok dikunjungi oleh
wisatawan yang senang akan olah roso dan olah
kebatinan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
* Makam Maling Gentiri
Makam Maling Gentiri terletak di Desa
Kawengan, Kecamatan Jepon, lebih kurang 12
km kearah Timur dari Kota Blora, mudah
dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun
roda empat. Menurut buku karya Sartono Dirdjo
( Tahun 1984 ), serta buku Tradisional Blora
karya Prof. DR.Suripan Sadi Hutomo ( tahun
1966 ) serta hasil dari cerita rakyat, Gentiri
adalah putra dari Kyai Ageng Pancuran yang
saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi
( sakti mondroguna ), suka menolong kepada
orang yang sedang kesusahan, orang yang tidak
mampu dan sebagainya, suka mencuri ( maling )
namun bukan untuk dirinya sendiri melainkan
untuk orang lain yang sedang kesusahan. Maling
Gentiri dijuluki Ratu Adil yang dianggap sebagai
tokoh yang suka mengentaskan rakyat dari
kemiskinan. Dengan perjalanan sejarah yang
panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan
semua perbuatan yang melanggar hukum dia
tinggalkan, hingga akhirnya dia meninggal dan
dimakamkan di Ds. Kawengan, Kecamatan
Jepon. Karena jasa-jasanya banyak, masyarakat
setempat atau dari daerah lain yang datang ke
makam tersebut karena masih dianggap keramat
(Karomah), baik untuk berziarah maupun untuk
tujuan tertentu.
* Makam Jati Kusumo dan Jati Swara
Makam Jati Kusumo dan Jati Swara terletak di
Desa Janjang, Kecamatan Jiken lebih kurang 31
km kearah Tenggara dari Kota Blora atau lebih
kurang 10 km dari Kecamatan Jiken, mudah
dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun
roda empat. Dengan luas areal lebih kurang 1 Ha
yang didalamnya terdapat Makam Jati Kusumo
dan Jati Swara, makam Rondo Kuning ( putri
yang tergila-gila ingin diperistri oleh kedua
bangsawan tersebut ), empat makam sahabat ,
Bangsal sesaji, Guci berisi air ( dianggap punya
karomah ), Batu Pasujudan, dan juga bangsal
untuk pertunjukan Wayang Krucil. Menurut
ceritera rakyat setempat Pangeran Jati Kusumo
dan Jati Swara adalah dua bersaudara kakak
beradik putra dari Sultan Pajang, Mempunyai
kesaktian yang tinggi, suka menolong orang lain,
suka mengembara kemana-mana dengan tujuan
untuk menyebarkan Agama Islam. Terbukti
dengan adanya bangunan masjid disana karena
jasa-jasanya.
PATUNG KUDA CEPU
Sedikit sejarah patung kuda di cepu sedulur KOMARA .Tugu Kuda di Cepu mempunyai nama
asli Monumen Ronggolawe diambil dari nama
pasukan Ronggolawe yg dipimpin Jendral Jati
Kusuma. Pasukan Ranggalawe adalah pasukan
laskar pembela bangsa dipimpin Jendral Jati
Kusuma pada tahun 1948 saat peristiwa Afair
madiun.
Monumen Ronggolawe Cepu berbentuk Patung
Kuda yang menggambarkan titian Adipati Tuban
yang bernama Ronggolawe.Tugu Ronggolawe
atau Patung Kuda Cepu itu merupakan wujud
kuda sembrani yang pemberani dan gagah
seperti Adipati Tuban.
Monumen Ronggolawe (Tugu Kuda) Cepu
diresmikan tanggal 10 November 1985 tepat
pada saat peringatan Hari Pahlawan oleh Letjen
Purn Rukmito Hendraningrat. Pembangunan
Monumen Ronggolawe (Tugu Kuda) Cepu ini
diprakarsai oleh Yayasan Ronggolawe di Jakarta
tahun 1985. Tujuan Pembangunan Tugu Kuda
Cepu untuk mengenang Pasukan Brigade
Ronggolawe yang berjuang tahun 1948 di
wilayah Cepu.
Tugu Kuda ini berlokasi di Jl. RSU timur Taman
Seribu Lampu Kelurahan Balun Kecamatan Cepu
dengan luas lahan 10 m2 tinggi 5 meter. Tugu
Kuda dibuat dari batu dan tembaga, sedangkan
patung kudanya dari tembaga asli dgn bentuk
Kuda berdiri yang akan melompat.
Minggu, 12 Oktober 2014
MONUMEN GARUDA PANCASILA
Mungkin sobat KOMARA udah pernah liat atau melintasi tugu pancasila .ulasan sekilas tentang Monumen Pancasila Sakti atau disebut juga tugu pancasila nama populernya , untuk mengenang tujuh pahlawan ... Monumen Garuda Pancasila ini terletak di Kecamatan Kota, Kabupaten Blora.Tempat monumen tersebut pada tahun 1948/1949 merupakan tempat terjadinya perlawanan rakyat bersama tentara RI melawan tentara Belanda mungkin di beberapa kota juga terdapat monumen pancasila .
Jumat, 10 Oktober 2014
APLIKASI SOCIAL KOMARA (khusus sobat komara)
Aplikasi KOMARA untuk yg android ayo segera
didwondlond khusus warga komara http://
www.appsgeyser.com/getwidget/komarasocial/
Bagi yang gak punya hp android bisa melalui broswer langsung atau opera mini dengan cara
yg ga android bisa klik disini http://komara.orgfree.com/mobile
Registernya mudah ckup dengan email ayo segera register sobat..aplikasi ini dibuat oleh tim kreatif KOMARA mas erwin stiadi
ALUN-ALUN KOTA BLORA
Siapa yang gak tau alun-alun kota blora pasti KOMARA pasti pernah mengunjungi atau mendengarnya,sedikit ulasan tentang Alun2 kota blora.
Kawasan alun-alun bora merupakan salah satu
icon kota blora. Berada di jantung Kota dan
merupakan titik pertemuan dari Jalan Pemuda,
Jl. Mr. Iskandar, Jl. R.A. Kartini serta
merupakan tembusan dari Jalan Alun-alun
Barat.
Alun-alun Blora merupakan Taman Terbuka
Hijau terluas di Blora. Setiap pagi dimanfaatkan
warga untuk tempat berolahraga. Sedangkan
sore dan malam harinya Alun-alun menjadi
tempat nongkrong dan ruang publik yang sangat
mengasyikan dengan adanya penyewaan becak
lampu, sepatu roda & otopet.
Di sekeliling alun-alun juga terdapat berbagai
penjual makanan dan minuman seperti jagung
bakar, roti bakar, teh poci, kopi, dan lain-lain.
Alun-alun menjadi pilihan banyak orang untuk
menghabiskan malam. malam minggu ruang
publik ini penuh dengan muda-mudi yang
menikmati keramaian kota dari Alun-alun.
Penjual Kopi (Pedagang Kaki Lima) disini ada
hingga pagi serta akses hotspot gratis menjadi
daya tarik di Alun-alun Blora. Selain itu, alun-
alun Blora juga dimanfaatkan sebagai tempat
terlaksananya upacara kenegaraan .untuk sobat KOMARA yang da di blora alun2 jg sebagai tempat ngumpul/kopdar biasanya bertepatan malem minggu malam untuk berkumpul sama teman2 komara.