Selasa, 09 Juni 2015

SEJARAH DESA JEPON BLORA

Desa Jepon
Desa Jepon adalah salah satu Desa di Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. Desa ini sebagai ibu kota Kecamatan di Kecamatan Jepon. Kecamatan Jepon terletak di sebelah timur Kecamatana Blora, dengan batas sebelah Barat Kecamatan Blora dan Kecamatan Banjareja, sebelah Utara Kabupaten Rembang, sebelah Timur Kecamatan Jiken dan sebelah Selatan Kecamatan Kedhungtuban dan Kecamatan Randhublatung.
Luas wilayah Kecamatan Jepon adalah 10.742,335 Ha dengan area sawah 545,600 ha, pekarangan 1.179,430 ha, tegalan 2.183,648 ha, hutan 4.768,915 dan lain-lainya 94,790 ha.
Kecamatan ini terkenal dengan daerah penghasil tanaman budi daya cabai dan kerajinan dari kayu jati.
@. Asal Mula Penamaan Desa Jepon
Zaman dahulu masa kerajaan Aryo Penangsang disebutkan bahwa Kabupaten Blora terbagi menjadi dua, terdiri dari Blora dan Cepu dengan batasnya berada di Desa Palon yang sekarang menjadi salah satu Desa di Kecamatan Jepon. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan penduduk akan tempat tinggal maka lambat laun Desa Palon menyatu menjadi desa di Kecamatan Jepon. Sehingga Blora menjadi 16 Kecamatan dan Kecamatan Cepu menjadi satu dengan Kabupaten Blora.Menurut Bapak Sarjono 65 tahun, sesepuh desa Palon mengatakan bahwa adanya Jepon sudah ada sebelum adanya zaman penjajahan Jepang, namun pemberian nama “Jepon” diambil dari nama “Jepang Nipon” yang diberikan oleh para penjajah Jepang. Jepang sudah lama berada di Jepon sehingga masyarakat lebih suka menyebut daerah mereka dengan nama Jepon.

            Sejak itu lah nama Jepon dijadikan sebagai nama sebuah Kecamatan hingga sekarang. Adanya perkembangan tersebut menjadikan Kecamatan Jepon menjadi sebuah kecamatan yang berkembang dalam potensi sumber daya alam hingga sekarang. Keberadaan penjajah Jepang menberikan dampak positif bagi sebagian besar daerah di Kecamtan Jepon.

Salah satunya adalah Desa Semanggi yang memiliki potensi sumber minyak bumi dan gas yang mulai digali saat penjajahan Jepang dimana saat itu ada ratusan sumur minyak yang diolah. Sampai saat ini keberadaan sumur- sumur tua masih ada namun hanya 6 sumur yang masih produktif, sedangkan sumur lainnya sudah tidak mengahsilkan minyak.
MAKAM MALING GENTIRI
Makam maling Gentiri terletak di Desa Kawengan kecamatan Jepon + 12 Km kearah timur dari kota Blora, mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Menurut buku karya Sartono Dirjo (tahun 1984) serta buku tradisional Blora karya Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (tahun 1996) serta hasil dari cerita rakyat, Gentiri adalah anak dari Kyai Ageng Pancuran yang pada saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi (sakti mondroguo), suka menolong kepada orang yang sedang kesusahan, orang yang tidak mampu dan sebagainya. Namun dia suka mencuri (maling) bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain yang sedang kesusahan. Dengan perjalanan sejarah yang panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar hukum dia tingglakan dan akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di Desa Kawengan Kecamatan Jepon. Karena jasa-jasanya banyak masyarakat setempat atau dari daerah lain yang datang ke makam tersebut karena masih dianggap keramat (Karomah)
@. Tradisi di Desa Jepon
a. Sedekah Bumi
Masyarakat Jawa memang terkenal dengan beragam jenis tradisi atau budaya yang ada di dalamnya. Di Kecamatan Jepon ada tradisi sedekah bumi yang biasa di sebut “Gas Deso” oleh masyarakatnya merupakan suatu tradisi tahunan yang dilaksanakan setelah panen. Jadi antara desa yang satu dengan lainnya tidak sama pelaksanaan sedekah buminya. Tergantung pada kapan desa tersebut mengalami panen. Sedekah bumi atau gas deso adalah wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan berkah yang telah diberikan-Nya.
Sedekah bumi atau gas deso biasanya disambut suka cita oleh masyarat. Mereka merayakannya dengan membuat nasi tumpeng dan jajanan khas daerah seperti dumbeg, pasung, tape, bugis dan lain sebagainya. Lalu nasi tumpeng dan jajanan khas tersebut dibawa ke balai desa, sumur (sendang) yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat setempat untuk menggelar acara tersebut untuk didoakan pemuka agama. Usai dioakan nasi tumpeng dan jajanan dimakan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang merayakan acara sedekah bumi itu.

Mungkin tradisi sedekah bumi inilah yang terkadang dinantikan oleh anak-anak. Terutama anak-anak remaja seperti anak-anak SMP, SMA. Sering kali anak-anak SMP dan SMA membolos sekolah hanya karena ingin menghadiri acara tradisi sedekah bumi tersebut, padahal di acara sedekah bumi atau gas deso ini hanya ada makanan dan jajanan pasar yang sudah tidak asing bagi mereka dan hampir tiap hari mereka temui. Mungkin bagi mereka tradisi sedekah bumi yang hanya satu tahun sekali ini suatu hal yang sangat menyenangkan dan mengasyikkan karena dengan acara ini mereka dapat berkumpul dengan teman-teman yang lain dan terkadang menemukan teman baru.
Puncaknya acara sedekah bumi diakhiri dengan pertunjukan kesenian daerah entah itu barongan, wayang kulit, kethoprak atau tayub yang merupakan ciri khas kesenian Blora yang kemudian dilanjutkan pembacaan doa oleh masyarakat dipimpin oleh pemuka agama. Acara tersebut biasanya penyelenggaraannya di balai desa atau sendang. Pertunjukan acara tersebut dilaksanakan 2 kali dalam sehari yaitu siang hari dan malam hari.
b. Bodo Kupat
Perayaan Bodo Kupat seminggu setelah lebaran fithri ini biasanya dilakukan penduduk Desa Jepon.
Konon yang pertama kali memperkenalkan budaya bodo kupat adalah para sunan wali songo (wali sembilan), sebab mereka setelah berpuasa ramadhan selama sebulan dan berbuka sehari pada Iedul Fithri (lebaran hari pertama), maka mulai hari kedua lebaran sampai hari ketujuh biasanya menyambung puasa lagi selama 6 hari, yaitu puasa 6 hari syawal yang hukumnya sunah, baru kemudian sore hari ketujuh dan hari kedelapan berbuka seperti hari-hari lainnya dalam setahun.
Kemudian diantara wejangan dan nasehat wali-wali tersebut, bahwa barang siapa yang berpuasa Ramadhan selama sebulan kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawal maka akan mendapatkan keselamat dunia akhirat, atau keselamatan yang sempurna, atau dalam bahasa arabnya Salamatan Kaaffatan. Kata bahasa arab inilah (salamatan kaaffatan) yang ketika diadopsi oleh telinga orang jawa maka berubah pengucapannya menjadi Selamatan Kupatan, sehingga nama lain dari bodo kupat adalah selamatan kupat
.Sedangkan kata bodo, asalnya yaitu dari bakda yang lengkapnya bakda syawal atau setelah syawal, karena dirayakan seminggu setelah satu syawal. Kemudian kata bakda syawal dan salamatan kaaffatan ini adaptasi menjadi bakda kaaffatan, kemudian menjadi bakdo kupatan, kemudian menjadi bodo kupat.
Kata bodo inilah yang kemudian diadaptasi dalam bahasa Indonesia menjadi Lebaran, yang aslinya dari kata lebar atau bar yang dalam bahasa jawa berarti sesudah atau selesai, sama dengan arti bodo yang aslinya bakda (sesudah) dan bakdo.
Kata yang lainnya, konon kata kupat berasal kependekan frasa "nyukupke kang papat" (melengkapi empat hal), atau dari frasa "laku kang papat" (melakukan empat hal), empat hal yang dimaksud yaitu, puasa ramadhan selama sebulan, kemudian membayar zakat fitri, sholat Ied dan yang terakhir puasa enam hari pada bulan syawal.
Sedangkan yang lain mengatakan asli kata bodo berasal dari frasa "ngaku lepat" atau "a kulepat' yang berarti mengakui kesalahan dan kekeliruan, hal inilah yang kemudian mendasari tradisi saling memaafkan dan silaturrahim pada waktu Idul Fithri.

c. Kondangan
Kondangan adalah salah satu upacara atau ritual sebagai wujud syukur kepada tuhan dengan doa. Kata kondangan berasal dari kata kaum diundang. Di kamus bahasa jawa, kata lain dari kondangan adalah kendhuren, slametan, wilujengan dan sugengan, semua kata tersebut mempunyai makna yang sama. Bentuk kondangan diantaranya kondangan untuk memperingati kematian, kondangan kelahiran, kondangan pernikahan, kondangan buka tahun dan tutup tahun , syawalan, suronan dan lain sebagainya. Waktu waktu peringatan kondangan di kematian adalah geblag(hari pertama kematian), nelung dino(hari ketiga kematian), pitung dino(hari ketujuh kematian), patang puluhan dino(hari keempat puluh kematian), nyatus(hari ke-seratus kematian), mendak pisan(tahun pertama kematian), mendak pindho(tahun kedua kematian), nyewu(hari ke-seribu kematian) dan kol-kolan(ritual tahunan setelah nyewu). Disamping sebagai wujud syukur terhadap Tuhan YME, ritual ini juga mempunyai fungsi penting pada hubungan diantara sesama dan hubungan antara keluarga dan mendiang.
Ritual kondangan terbentuk dari gabungan dua agama dan kebudayaan, Hindu dan Islam. Sesajen berasal dari Hindu dan doa doanya dari Islam. Meskipun demikian, upacara ini mempunyai nilai nilai kebudayaan Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya.
d. Melekan
'           Tradisi Melek' an Berasal dari bahasa jawa melek artinya tidak tidur, Tradisi melekan ini bertujuan unutk meramaikan orang yang mempunyai hajat acara. Biasanya tradisi melekaan ini dilakukan sebelum hari H dimulai. Tradisi melekan ini dilakukakan pada melekan bayi dan pernikahan serta Sunatan. Para tetangga, sanak saudara berkumpul bersama dating ke rumah orang yang punya hajat dengan tujuan meramakan semalam suntuk. Orang yang melekan ini biasanya diramaikan dengan menonotn film, ataupun permainan remi dan sekak.
e. Nyekar
Setiap bulan Suci Ramadhan datang (jw:megengan), acap kita saksikan sejumlah orang memadati kuburan. Hingga memacetkan jalanan dan terhambatnya laju puluhan bahkan ratusan kendaraan.
Umumnya mereka yang hadir di sana adalah untuk nyekar, yakni menabur aneka bunga (jw:sekar) di atas pusara keluarga atau kuburan orang yang dianggap alim dan shalih/shalihah. Amalan tersebut dikenal dikalangan masyarakat dengan istilah ”nyekar”.
Tujuannya untuk menghormati keluarga atau tokoh yang telah meninggal dunia, dan ada juga yang untuk meringankan siksa yang sedang diderita oleh ahli kubur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon kritik & saranya lur